Suara Kenabian 

Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

 

Salam Damai dalam Kebhinnekaan. Pada Minggu Biasa XIV ini, kita diingatkan melalui bacaan-bacaan hari minggu ini untuk menyadari akan adanya energi / kekuatan dalam diri pribadi kita maupun sebagai komunitas (gereja, bangsa) yang mengendap bahkan bisa membentuk karakter yang melekat dan mempengaruhi perilaku kita. Kita diajak untuk membangun watak dasar kristiani yang dibangun melalui pembatinan nilai-nilai dasar kristiani sehingga membentuk perilaku-perilaku kristiani. Pada akhirnya akan menjadi habitus baru dan membentuk watak dasar atau karakter dasar baik pribadi maupun kolektif / komunal. 

Perutusan kenabian Yehezkiel dalam bacaan I menegaskan konteks zaman dan tantangan yang dihadapi oleh Yehezkiel. Ia harus berhadapan dengan sebuah bangsa yang telah terbentuk dengan karakter sebagai pemberontak, keras kepala dan tegar hati. Nabi ditutus untuk tetap mewartakan pesan kenabian dari Tuhan dengan resiko akan ditolak. Ia harus bersuara entah didengar atau tidak. Tuhan menghendaki bahwa “seorang Nabi Ada dan masih bersuara”. Suara Tuhan tidak lenyap kendati sayup-sayup terdengar. Nabi menjadi Tanda dan memastikan Suara Allah tetap eksis tidak lenyap. Nabi dan suara kenabian selalu dibutuhkan sebagai suluh ditengah kegelapan. Sebagai penuntun jalan menuju kehidupan dan keselamatan sejati. 

Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, St. Paulus menegaskan bahwa untuk menjadi pewarta Injil suara kenabian, harus cermat mengenali godaan terbesar dari iblis yang mau mengecoh dan membelokkan pesan atau mengacaukan perwartaan Injil yaitu sombong. Ia menasihati, “Jangan meninggikan diri”. Kesadaran bahwa kita bersyukur dan berbangga boleh dipakai Tuhan, hal itu membuat kita tidak pernah tinggi hati tetapi rendah hati. Motto Paulus ini kiranya bisa memurnikan motivasi kita, sekaligu menjadi kata / alarm pengingat: “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna.” 

Pesan Injil minggu ini menegaskan ternyata karakter umat Israel dari zaman Yehezkiel sampai zaman Yesus ternyata tidak berubah. Sayangnya, yang mengendap dan bertahan adalah watak dasar negatif yaitu keras kepala, tegar hati dan menolak Nabi dan Utusan Allah. Alih-alih menjadi percaya dan menerima Yesus dan pewartaaNya, mereka justru mempertanyakan dan menolak Yesus. “Dari mana diperolehnnya semua itu? Hikmat apakah yang diberikan kepadaNya? Mereka kecewa dan menolak DIA.” 

Yesus tahu nasib para Nabi, maka ia menyitir kegetiran seorang nabi, “Seorang nabi dihargai di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, diantara keluarga dan di rumahnya.” Namun demikian seperti Yehezkiel dan para nabi lainnya, the show must go on…. Pewartaan harus tetap berlangsung dan disuarakan. Entah didengar atau ditolak. “Yesus berjalan berkeliling sambil mengajar….” 

Ditengah demam gelaran sepak bola Piala Dunia dan Asian Games mendatang yang belum terasa gemanya. Kita mendapat inspirasi dari dunia olah raga. Olah raga membentuk watak dasar indivitu dan tim yaitu sportivitas, fair play, persaudaraan, persahabatan, kompetisi sehat dan kerja sama. Di sisi lain Pilkada serentak menampilkan watak lain berkebalikan dengan watak sportivitas dunia olah raga. Dunia olah raga mengajari kita mengolah “kualitas individual dan energi kolektif dalam harmoni”. Semoga Piala Dunia dan Asian Games tidak sekedar menjadi tontonan yang menarik, tetapi menjadi tuntutan membangun karakter yang tangguh untuk menggapai masa depan bagi Bangsa Indonesia dan Gereja Keuskupan Agung Jakarta. 

Kita mohon rahmat minggu ini agar boleh semakin tangguh beriman, bersaudara dan peduli kepada sesama dan alam ciptaan, serta semakin memiliki watak dasar gembala baik dan murah hati. 

Santa Maria Bunda Segala Suku, sertailah dan doakanlah kami bangsa Indonesia tercinta. 

This entry was posted in Seputar Gereja. Bookmark the permalink.