WARTA MINGGUAN KATEDRAL (16 Februari 2020)

Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Pada tahun 2017, peneliti genetika di Eijkman Institute menerbitkan hasil penelitian asal-usul orang-orang yang mendiami Negara Indonesia sekarang. Ternyata, orang-orang Indonesia merupakan hasil perkawinan antargrup genetika homo sapiens, yang keluar dari Afrika 72.000 tahun lalu da-lam beberapa gelombang. Gelombang pertama datang seki-tar 50.000 tahun lalu dari daratan India ke Jawa, Sumatera, dan Kalimantan ketika ketiga pulau itu masih merupakan satu daratan. Gelombang kedua berasal dari Vietnam dan Kamboja sekitar 30.000 tahun yang lalu. Gelombang ketiga adalah bangsa Austronesia dari wilayah Formosa (Taiwan) antara 6.000 hingga 5.000 tahun yang lalu.

Gelombang migrasi manusia ini dilatarbelakangi banyak hal: mencari tempat berburu yang baru atau tempat berco-cok tanam yang lebih luas. Atau bisa juga, menghindari kon-flik di tempat asal karena populasi manusia semakin banyak. Lepas dari itu semua, nenek moyang kita datang ke Nusantara.

Itu artinya pembedaan antara pribumi dan nonpribumi tidak relevan. Syukurlah, Gus Dur menghapus istilah pribumi dan nonpribumi itu. Hal yang paling penting adalah semua orang Indonesia yang sekarang mendiami wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah migran! Karena ketid-aktahuan dan kemalasan kita meneliti dan membaca sejarah, kita merasa inilah tanah kita sejak Tuhan semesta alam men-ciptakan Bumi dan Langit. Padahal pengakuan itu sama sekali tidak tepat. Salah besar!

Untuk bangsa Amerika, sejarah masa lampau lebih mu-dah diingat dan terang benderang. Orang keturunan Irlandia, misalnya masih ingat bagaimana kakek buyut mereka datang ke Amerika lebih dari 150 tahun lalu, berlabuh di Ellis Island di pantai timur Amerika untuk mendapatjan dokumen imigrasi.

Hampir semua datang karena bencana kelaparan akibat gagal panen kentang di irlandia sekitar tahun 1850. Hal semacam ini masih terjadi pada masa sekarang. The New York Times pada 2019 mengangkat isu migrant ham-per setiap hari. Salah satu artikel menyebutkan, peru-bahan iklim menjadi salah satu pemicunya. Banyak di anta-ra para migrant, terutama dari Honduras, adalah para buruh perkebunan kopi.

Bergesernya musim hujan dalam sepuluh tahun tera-khir menyebabkan pertanian kopi menjadi sepahit dan segetir buah kopi itu sendiri. Turunnya hujan saat bukan musimnya mengganggu siklus hidup tanaman kopi. Hama serangga dan jamur merajalela, merusak batang dan daun kopi. Populasi petani kopi skala kecil turun hampir 25% dari 12.000 menjadi sekitar 9.000 orang selama sepuluh tahun terakhir. Alhasil banyak buruh yang kehilangan penghasilan.

Untuk menyambung hidup, para mantan buruh itu beramai-ramai datang ke Mexico. Mereka kemudian men-coba masuk Amerika Serikat sekadar mendapatkan nafkah dengan bekerja di perkebunan dan lading-ladang per-tanian di Amerika. Di bagian akhir artikel itu ditulis,”Saat ini, kita melihat rombongan buruh tani dari Honduras ma-suk ke Amerika. Kelak 10 atau 20 tahun lagi, kita akan melihat rombongan pemilik lahan kopi datang ke Amerika karena perkebunan kopinya tidak lagi menghasilkan biji kopi.”

Kitab Perjanjian Lama mengingatkan bangsa Yahudi, bahwa pada suatu masa, mereka juga orang asing yang datang ke tanah Kanaan. Oleh sebab itu, Kitab Perjanjian Lama mengajarkan untuk menerima dan member tumpangan pada orang asing. Lebih dari itu, tanah tempat mereka tinggal adalah milik Tuhan, bukan milik pribadi. Alhasil tanah tidak bisa diperjualbelikan.

Sebagai pewaris iman Bapa Abraham, kita pun di-ingatkan ajaran tersebut. Ratusan ribu tahun yang lalu, nenek moyang kita pun adalah pendatang di Nusantara ini, dan orang asing di tanah ini. Maka adalah bijak, kita pun bersimpati dan berempati dengan para migrant yang datang ke negeri kita. Mereka lari dari kekejaman perang dan konflik, berharap mendapatkan kehidupan yang layak sebagai manusia.

C. Bayu Risanto, SJ – Edisi No. 154/II/2020

This entry was posted in Seputar Gereja. Bookmark the permalink.