Masa Prapaskah: Makna, Semangat Dasar, Sejarah, Penghitungannya

Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

“Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu” (Yoel 2:13a)


APA ITU MASA PRAPASKAH?

Masa Prapaskah merupakan kesempatan berahmat untuk mempersiapkan diri memasuki misteri agung Paskah. Congregatio Pro Cultu Divino (Kongregasi Ibadat Ilahi)  menyebut masa ini sebagai “masa mendaki gunung suci Paskah” yang merupakan puncak dari Tahun Liturgi.[1]

Dalam tradisi Gereja Katolik, masa ini juga menjadi kesempatan “Retret Agung Umat” karena dalam masa ini umat diajak untuk mempersembahkan diri secara khusus kepada Allah dengan menyadari kelemahan dan kecenderungan negatif sekaligus menyadari betapa besar kerahiman dan keterbukaan Allah untuk menerima segala niat dan usaha baik kita.

Maka diharapkan dalam masa ini, umat semakin mendalami iman (tanggapan merdeka akan wahyu Allah), baik secara pribadi maupun dalam komunitas. Olah matiraga, tobat, doa, refleksi, dan karya nyata bagi sesama dan lingkungan menjadi lingkaran yang tak terpisah dari “Retret Agung Umat” ini.


APA SEMANGAT DASAR DARI MASA INI?

Semangat dasar yang ingin ditumbuhkan dalam masa ini adalah pertobatan, yakni kerinduan untuk membenahi, menguduskan dan menyelaraskan diri kita dengan kehendak Allah. Semangat pembaharuan dan pembenahan diri inilah yang menjadi arah dari masa ini.

Prapaskah dimaksudkan agar semua orang secara mantap memperbaharui diri dan diperbaharui sesuai dengan citra Allah yang telah bangkit. (rumusan Misale Romanum)

Bapa Suci Paus Fransiskus dalam kesempatan Katekese Angelus, Minggu 7 April 2019 mengatakan bahwa setiap pertobatan diarahkan kepada masa depan yang baru, hidup yang baru, yang indah, yang bebas dari dosa dan murah hati. Selanjutnya beliau mengatakan,

Prapaskah adalah saat ketika umat katolik dipanggil untuk mengakui keberdosaan mereka, dan meminta pengampunan dari Tuhan. Karena pengampunan itu akan memberi kedamaian, dan memampukan kita memulai kisah hidup yang baru.[2]


BERAPA LAMA WAKTU MASA PRAPASKAH?

Masa Prapaskah berlangsung selama 40 hari. Angka “40” sendiri dalam Alkitab (PL maupun PB) mempunyai makna spiritual sehubungan dengan persiapan akan tugas mulia. Beberapa contoh yang dapat dirujuk antara lain:

  • Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28).
  • Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (Sinai) (1 Raj 19:8).
  • Seruan pertobatan dari Nabi Yunus bagi Orang Niniwe untuk kembali kepada Allah dengan mengadakan puasa selama 40 hari dan mengenakan kain kabung” (Yun 3:4-5)
  • Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Gambaran para nabi dan Yesus menjalani masa 40 hari adalah gambaran perjalanan rohani sebelum mendapatkan sebuah penugasan dari Allah sendiri. Maka, 40 hari di sini bukan sekadar menunjuk pada angka namun pengalaman yang berkenaan dengan sebuah persiapan akan kebesaran Allah yang maharahim.

Maka, keterlibatan kita dalam masa 40 hari ini adalah salah satu langkah nyata kita untuk ikut berjalan dalam sejarah keselamatan yang ditawarkan Allah dan kesediaan nantinya diutus.


SEJAK KAPAN DITETAPKAN MASA PRAPASKAH INI?

Menurut beberapa sumber, sejak masa awal Gereja, sudah ada kebiasaan persiapan menyambut Paskah.[3] Beberapa hal yang dapat disarikan adalah sebagai berikut:

  • Eusebius dalam bukunya, Sejarah Gereja (V, 24) menceritakan bahwa St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I perihal perlunya persiapan perayaan Paskah satu atau dua hari atau 40 jam sebelumnya, dengan berpuasa.
  • Pada abad-abad awal, memang terdapat beberapa variasi penerapan puasa masa persiapan ini sesuai dengan tempatnya: ada yang 40 jam, ada yang 40 hari, ada yang satu minggu, sesuai dengan penghayatan masing-masing karena memang situasi saat itu, belum ada patokan resmi (ingat: situasi gereja awal masih sporadis dan belum diterima resmi).
  • Praktik berpuasa selama 40 hari untuk menyambut Paskah baru ditetapkan dalam Konsili Nikea (325) dan Konsili Laodikia (360). Praktik puasa ini dinamakan tessarakoste (Bhs. Yunani) atau quadragesima (Bhs. Latin) yang berarti “40 hari.”
  • St. Athanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci.
  • St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah.
  • St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari.
  • Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”.

Dengan hal itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sejak abad kedua sudah ada kebiasaan menyambut Paskah, walaupun masih ada beberapa variasi penerapannya. Pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah resmi ada, dengan doa dan puasa sebagai latihan-latihan rohaninya.

Dalam perkembangannya ada banyak variasi mengenai praktek puasa itu sendiri. Praktik yang sekarang berlangsung dalam Gereja Katolik tentang pantang-puasa mulai ditetapkan pada abad ke-7 dan pertama kali dilakukan di Roma. Puasa tersebut dimulai pada hari Rabu Abu dan bukan sesudah Minggu Prapaskah Pertama.


APA CIRI POKOK DARI MASA INI?

Menurut Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II (KL 109), ada dua ciri khas Masa Prapaskah yang patut diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi:

  • Mengenang atau mempersiapkan pembaptisan,

Semangat baptis harus menjiwai setiap orang Kristiani yakni pembaruan diri terus-menerus dan senantiasa terbuka terhadap sapaan Allah. Bagi para katekumen, masa ini juga menjadi persiapan intensif untuk menerima sakramen inisiasi.[4]

  • Membina tobat

Tobat memiliki dua lapisan: personal dan sosial (KL 110). Tobat adalah sikap hati (rohaniah) yang perlu mendapatkan perwujudannya dalam hal nyata (lahiriah), seperti puasa-pantang, doa, amal kasih. Tobat yang sejati tidak cukup hanya sebatas pada hal lahiriah ini, yang lebih penting kemudian adalah hal lahiriah ini dapat mendorong orang pada sebuah perubahan sikap dan tindakan dengan semakin peduli, semakin berarti bagi orang lain dan lingkungan.


BAGAIMANA PENGHITUNGAN MASA PRAPASKAH INI DALAM RITUS LATIN?

Tentang pertanyaan ini, tentu kita harus berhati-hati membedakan antara masa prapaskah dalam RITUS LATIN (disebut sebagai Masa Suci Quadragesima) dan masa puasa-pantang yang mengiringi masa tersebut.

Kesamaan keduanya adalah berlangsung selama 40 hari.

Perbedaannya ada pada kalkulasinya:

  • Menurut dokumen gereja, Litterae Circulares de Festis Paschalibus Praeparandis et Celebrandis (terjemahannya “Perayaan Paskah dan Persiapannya”) no.23, Masa Prapaskah dalam penanggalan liturgi (RITUS LATIN) dimulai pada Minggu pertama Prapaskah (Latinnya Dominica I in Quadragesima, harafiahnya ‘Minggu I dalam Empat Puluh Hari’) dan “Perayaan Paskah dan Persiapannya” no. 27 menulis

Dalam Pekan Suci Gereja merayakan misteri keselamatan yang diwujudkan Kristus pada hari-hari terakhir hidup-Nya, sejak Ia sebagai Al Masih memasuki Yerusalem. Masa Prapaskah berlangsung sampai dengan Kamis pekan ini. Dengan ekaristi Perjamuan Malam Terakhir mulailah ketiga Hari Paskah, yang meliputi Jumat Agung dan Sabtu Paskah, dan me-muncak dalam perayaan Malam Paskah dan berakhir dengan ibadat sore Minggu Paskah

  • Sedangkan Puasa-Pantang sebagai olah matiraga yang berlangsung selama 40 hari itu dimulai sejak Rabu Abu sampai Sabtu Suci, tanpa menghitung hari Minggu karena hari Minggu adalah hari Kebangkitan Kristus, jadi hari Minggu bukanlah saat yang tepat untuk berpuasa dan menyesali dosa-dosa kita. Perhitungan Masa Puasa dan Pantang ini didasarkan pada keputusan Paus Gregorius yakni enam minggu dari Minggu Prapaskah I sampai Minggu Paskah, yakni sebanyak 42 hari. 42 hari ini dikurangi 6 hari Minggu maka berjumlah 36 hari. Maka supaya jumlahnya 40 hari beliau menyerukan puasa Prapaskah dimulai 4 hari lebih awal yang jatuh pada hari Rabu.
    “Perayaan Paskah dan Persiapannya” no. 21 menulis

Pada Rabu Abu kaum beriman dengan menerima abu, memasuki masa yang diperuntukkan bagi pemurnian jiwa. Tanda tobat ini yang berasal dari tradisi alkitabiah dan melalui tradisi Gereja sampai kepada kita, berarti bahwa manusia itu pendosa yang mengakukan dosanya terbuka di hadapan Allah; dengan demikian ia mengungkapkan kemauannya untuk bertobat, di-bimbing pengharapan agar Tuhan berbelaskasih kepadanya. Dengan tanda ini mulailah jalan tobat yang bertujuan menerima sakramen tobat sebelum Hari Raya Paskah

Sebagai perbandingan untuk mempermudah mari kita lihat tabel berikut:


sumber: https://terangiman.com/2016/03/18/ada-berapa-hari-tobat-dalam-masa-prapaskah/

BAGAIMANA PELAKSANAAN PANTANG DAN PUASA SECARA YURIDIS?

Menurut Kitab Hukum Kanonik 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.

  • Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
  • Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
  • Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.
  • Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.

Ketentuan dari Konferensi para Uskup di Indonesia menetapkan selanjutnya :

  • Soal kapannya? Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaskah sampai dengan Jumat Agung.
  • Soal Siapa yang Terikat? Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.
  • Soal pemahaman? Puasa (dalam arti yuridis) berarti makan kenyang hanya sekali sehari, artinya: bila kita seringkali makan 3x sehari, dua kali bisa makan ringan dengan mengurangi porsi, 1x makan kenyang (seperti biasa). Sedangkan Pantang (dalam arti yuridis) berarti memilih pantang pada hal-hal yang disukai dan menjadi kelekatan. Misalnya, pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok, atau juga bisa pantang-pantang tentang sikap buruk yang seringkali muncul dan sebagai kecenderungan diri: menggosip, melukai hati orang lain, marah, dll. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya.

Peraturan Gererja tentang Pantang dan Puasa adalah hal minimal. Setiap umat boleh melakukan lebih dari yang minimal sebagai ungkapan tobat dengan memperhatikan kesehatan diri dan kebutuhan orang lain.

Pantang dan Puasa di sini perlu dipahami sebagai SARANA latihan mendisiplinkan diri. Konstitusi Apostolis Paenitemini yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI (17 Februari 1966) menegaskan bahwa tujuan ulah tapa kita ialah cinta kepada dan penyerahan diri pada Allah.


UNTUK APA BERPANTANG DAN BERPUASA?

Dari penjelasan di atas kiranya dapat dikatakan bahwa berpantang dan berpuasa bukannya untuk kemegahan dan kegagahan diri atau untuk mendapatkan kekuatan magis. Yang diarah dari ini adalah sebuah pengenalan diri yang lebih utuh dan kemudaian ada pembaruan batin tentang cara merasa, menilai dan mewujudkan diri. Dengan pengenalan diri itu kemudian orang dapat diajak kedalam upaya karya kesalehan dan amal kasih (KHK 1249).

Maka di sini, antara pantang-puasa tidak bisa dipisahkan dari gerak keluar yaitu karya amal kasih dan kesalehan. Ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi, membuat gerakan nyata, bersama, dan berkelanjutan yang membawa perubahan pada lingkungan hidup dan kepedulian pada sesama adalah bentuk lain yang harus seiring sejalan.

Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.

Banyak sekali sesungguhnya yang dapat kita lakukan, jika kita sungguh ingin bertumbuh di dalam iman. Namun seungguhnya, mulailah saja dengan langkah kecil dan sederhana. St. Theresia pernah mengatakan, “Lakukanlah perbuatan-perbuatan yang kecil dan sederhana, namun dengan kasih yang besar.”


Sebagai penutup, saya ingin mengutipkan kembali apa yang disampaikan nabi Yoel dalam Yoel 2:13a, “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,” semoga dalam masa Prapaskah ini kita tidak berhenti pada hal yang sifatnya rutinitas atau formalitas belaka (simbol: pakaian) namun melatih pikiran, hati, dan budi kita untuk dapat menjadi manusia baru (simbol: hati baru), seperti halnya termuat dalam Pesan Paus Fransiskus dalam Prapaskah 2021,

Panggilan untuk mengalami Prapaskah sebagai perjalanan pertobatan, doa dan berbuat amal, membantu kita – sebagai komunitas maupun sebagai individu – untuk menghidupkan kembali iman yang datang dari Kristus yang hidup, pengharapan yang diilhami oleh nafas Roh Kudus dan cinta yang mengalir dari hati Bapa yang penuh belas kasihan.


Rm. B. Christian Triyudo SJ


[1] Congregatio Pro Cultu Divino, Perayaan Paskah dan Persiapannya, diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Dokpen KWI, 1988), hlm. 6.

[2]https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2019-04/08/pope-at-angelus-every-true-conversion-is-directed-to-new-future.html

[3] William P. Saunders, “Straight Answers: History of Lent”; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com, diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya  atas ijin The Arlington Catholic Herald;
T. Krosnicki W.J. O’Shea, , “Lent”, dalam New Catholic Encyclopedia Vol. 8, 2nd Edition (Detroit: Thomson Gale, 2003), 468-470; Norman Tanner, “A Short History of Lent,” dalam https://www.thinkingfaith.org/articles/20110315_1.htm

[4] Bdk. I. Marsana Windhu, Memahami Rabu Abu, Prapaskah dan Minggu Palma (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 17 dan Congregatio Pro Cultu Divino, Perayaan Paskah dan Persiapannya, diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Dokpen KWI, 1988), hlm. 7.

This entry was posted in KATEKESE, Seputar Gereja, Warna Warni and tagged , , , . Bookmark the permalink.