Rabu Abu: Awal Masa Pantang-Puasa Katolik

Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

“…Sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu.” (Kej 3:19)

Dalam beberapa kesempatan, saya sering mendapatkan pertanyaan tentang Rabu Abu. Nah, kali ini dalam seri katekese, saya hendak berbagi apa yang pernah saya baca dari beberapa informasi dan menjawab pertanyaan umum yang sering muncul terkait dengan Rabu Abu.

Tentu maksud dari tulisan ini bukanlah untuk kepentingan akademis ketat, ini hanya semacam jawaban singkat untuk menambah pemahaman. Semoga dapat membantu pembaca.


Apa itu Rabu Abu?

Rabu Abu adalah hari pertama Masa Pantang dan Puasa yang berlangsung selama 40 hari.[1] Dalam memulai masa ini, umat ditandai dengan penerimaan abu (dapat ditaburkan ataupun dioles, sesuai kebijakan dari Keuskupan setempat).

Secara resmi, puasa yang dimulai pada hari “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan.[2]


Mengapa Hari Rabu?

Penentuan hari Rabu didasarkan atas dua alasan pokok:

  • Yang pertama, dalam kitab Didache (ajaran 12 Rasul) disebutkan ada kebiasaan baik dari orang Yahudi yang dilanjutkan oleh jemaat perdana untuk berpuasa dan berpantang sebagai tanda pertobatan pada hari Rabu dan Jumat.[3] Maka Rabu memiliki makna penting dalam olah pertobatan, selain hari Jumat.
  • Yang kedua, secara teknis, penentuan awal masa Prapaskah pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus. Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu Dengan demikian, hari pertama yang mengawali masa persiapan jatuh pada hari Rabu.[4]

Mengapa Abu yang Digunakan?

Abu adalah simbol biblis untuk mengungkapkan suasana perkabungan, ketidakabadian, sesal dan tobat. Hal itu mengingatkan kembali akan asal manusia, “Ingatlah manusia bahwa engkau terbuat dari debu dan akan menjadi debu” (Kej 3:19). Dengan mengingat itu diharapkan orang dapat menjalani pertobatan penuh dan pembaruan diri.

Dalam ritus romawi, penggunaan abu ini merupakan peninggalan dari ritus purba yang menetapkan bahwa para pendosa yang bertobat harus menjalani tobat kanonik. Penaburan atau pengolesan abu merupakan simbol kerapuhan dan kefanaan dan menandakan perlunya manusia ditebus oleh belas kasih Allah.[5]

Penggunaan abu secara simbolis ini juga bernuansa biblis dan dapat ditelisik juga dari beberapa tulisan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan juga tradisi awal gereja perdana.[6]

Dalam Perjanjian Lama (PL):

  • Dalam Kitab Ester (Est 4:1) disebutkan bahwa Mordekhai mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung dan menaburkan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Di sini, abu melambangkan sebuah perkabungan.
  • Dalam kitab Ayub (Ayb 42:6) disebutkan dalam pergulatannya, Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu, setelah melihat karya Agung Allah yang dapat melakukan sesuatu. Abu di sini melambangkan rasa sesal dan keingan untuk bertobat (memupuk kembali relasi dengan Allah).  
  • Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu” (Dan 9:3). Sebuah seruan akan ketidakabadian dan harapan untuk bertobat demi keselamatan.  
  • Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Abu digunakan sebagai simbol pertobatan. Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah.

Dalam Perjanjian Baru,

  • Yesus Sendiri juga menyinggung soal makna abu yang ada dalam PL: Kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21) Yesus mengungkapkan itu untuk menekankan pentingnya rasa sesal, ketidakberdayaan manusia, dan akhirnya bisa kembali bertobat.

Dalam tradisi awal Gereja, Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Beberapa tulisan yang bisa dirujuk antara lain:

  • Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.”
  • Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan menaburkan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dari Mana Abu saat Hari Rabu Abu itu Berasal?

Dalam perjalanan hidup Gereja, yang dibakar menjadi abu untuk diberikan kepada umat yang bertobat (abu tanda pertobatan) di awal masa pantang dan puasa Katolik (Rabu Abu) adalah daun palma kering yang sudah diberkati. Mengapa daun palma yang sudah diberkati?

  • Pertama, dalam kitab Mazmur 92:12-13, daun palma itu lambang keadilan dan kebenaran. Ia adalah juga lambang kemenangan. Sedangkan dalam Wahyu 7:9, lambang kemenangan Anak Domba Allah. Maka sejak gereja perdana, daun palma itu dipandang sebagai simbol kemenangan Kristus, yang memasuki Yerusalem surgawi secara mulia. Kemenangan yang sama dapat dimurnikan Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus, bagi umat yang bertobat, yang rela menerima abu, sisa-sisa pembakaran daun palma yang sudah diberkati.
  • Kedua, palma yang sudah diberkati itu merupakan benda sakramentali yang dihargai. Ia adalah benda-benda kudus yang dapat membantu kita dalam berdoa, berdevosi dan semakin mendekatkan diri kepada Allah.[7] Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan bahwa benda-benda sakramentali adalah “benda-benda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Melalui sakramentali hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen, dan pelbagai situasi hidup disucikan” (Art. 1667).
  • Ketiga, sebagaimana ditegaskan Kitab Hukum Kanonik 1171, selain tidak boleh dibuang sembarangan atau diberhalakan, daun palma yang sudah diberkati harus dihormati sebagai benda suci. Ia dapat dibakar atau dikubur bila sudah kering.

Di sinilah kita mengerti mengapa Gereja sering meminta umat menyerahkan daun Palma yang sudah diberkati dan kemudian dibakar, dijadikan abu dan diterimakan kepada umat pada hari Rabu Abu.


Siapa Saja yang Boleh Menerima Abu?

Pertama, perlu dipahami bahwa abu adalah ungkapan pertobatan seseorang. Maka setiap orang yang menerima abu, hendaknya dengan penuh menjaganya dalam sikap. Abu tersebut bukan untuk gaya-gayaan.

Kedua, karena ini merupakan ungkapan tobat seseorang, maka ia dapat diterima oleh siapapun  baik yang sudah dibaptis ataupun yang belum (simpatisan ataupun katekumen). Tentu dengan pilihan merdeka (bukan paksaan) untuk bertobat dan memupuk relasi dengan ALlah


Bagaimana Pelaksanaannya?

Dalam masa normal, penerimaan abu dapat dilakukan di gereja atau di lingkungan. Upacara pokoknya adalah pembacaan sabda Allah dan penerimaan abu (bisa dengan ditaburkan di kepala ataupun dioleskan di dahi). Saat menerimakan abu, imam akan mengatakan “Bertobatlah dan Percaya akan Injil.” atau “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu.” Kadang kala upacara penerimaan abu disatukan dengan perayaan ekaristi.

Dalam masa tidak normal (misalnya Pandemi ini), congregation for divine worship and the disciplines of the sacraments pada tanggal 12 Januari 2021 telah memberikan beberapa catatan mengenai ritus pemberian abu di masa pandemi:

  1. Imam memberkati abu dengan doa secara sederhana
  2. Setelah itu, imam memerciki abu dengan air suci tanpa mengatakan apa-apa
  3. Imam menghadap umat dan mengatakan salah satu rumusan ini, “bertobatlah dan percayalah pada Injil” atau “Ingatlah engkau ini debu dan akan kembali menjadi debu” kepada seluruh umat
  4. Imam/prodiakon membersihkan tangannya, memakai masker dan face shield lalu menaburkan abu di atas kepala umat tanpa mengatakan apa-apa lagi.”

Secara khusus, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) setelah memperhatikan situasi umat dan pentingnya Rabu Abu ini dalam olah tobat, dalam surat no. 067/3.5.1.2/2021 menambahkan pedoman yaitu

“di masa pandemi ini, perayaan ekaristi hari Rabu Abu menjadi begitu terbatas. Penerimaan abu dan Sakramen Mahakudus bagi mereka yang mengikuti Ekaristi secara online akan diterimakan oleh Pelayan Pembawa Komuni (PPK).

Pada tahun 2021 ini, PPK selain membawa Sakramen Mahakudus juga dapat membawa abu yang akan ditaburkan di kepala anggota keluarga di rumah setelah mereka secara penuh mengikuti ekaristi secara online…karena keterbatasan dan protokol Kesehatan, maka sesampainya di rumah PPK (setelah mengadakan ibadat singkat untuk menyiapkan hati) bisa menaburkan abu di atas kepala anggota keluarga yang lain sambil mengucapkan, “Bertobatlah dan Percayalah pada Injil.”

Tentu aturan ini hanya berlaku untuk umat yang berada di KAJ untuk tahun 2021 dan tidak bisa digeneralisasikan untuk semua karena konteks dan situasi yang berbeda di tiap-tiap keuskupan.


Bagaimana kalau Abu itu Terhapus?

Secara spesifik, Gereja tidak membuat suatu aturan khusus mengenai berapa lama kita harus menjaga abu di dahi. Umat Katolik dapat menentukan sendiri berapa lama dia menjaga abu di dahi atau kepalanya. Menjaga abu sepanjang hari merupakan tindakan yang dapat membantu mengingatkan umat mengapa abu tersebut ada di dahi atau kepalanya. Hal ini tentu memacu kita untuk lebih merendahkan diri di awal masa prapaskah.

Meskipun begitu, Jikalau abu secara alamiah jatuh, atau umat tidak sengaja menghapuskan abu, umat tidak perlu khawatir akan hal ini. Yang lebih dibutuhkan lebih lanjut dari simbol tersebut adalah sikap tobat yang terus dijaga.


Sikap Tobat seperti apa yang dibutuhkan?

Maka, sikap yang dibutuhkan sebagai tanda nyata rekonsiliasi adalah tobat, yaitu rasa sesal atas segala dosa dan keinginan untuk berdamai dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan.

Dasar dari sikap ini adalah kemurahatian Allah yang menyelamatkan (bukan rasa takut akan hukuman) dan kerendahanhati kita untuk menanggapi karya penyelamatan.


Rm. Christian Triyudo SJ


[1] Angka “40” sendiri memiliki makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).

[2] Katolisitas Indonesia, “Sejarah Hari Rabu Abu,” dalam https://katolisitas-indonesia.blogspot.com/2012/07/sejarah-hari-rabu-serta-pemberian-abu.html (diakses 10 Februari 2021).

[3] I. Marsana Windhu, Memahami Rabu Abu, Prapaskah dan Minggu Palma (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 9.

[4] Bdk. Stefanus Tay dan Ingrid Listiati, “Mengapa Disebut Rabu Abu?” dalam https://www.katolisitas.org/mengapa-disebut-rabu-abu/ (diakses 10 Februari 2021).

[5] Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi (Jakarta: Obor 2001), 106.

[6] Di bawah ini akan disarikan beberapa hal yang dibaca dari: Petrus Maria Handoko, Dari Prapaskah sampai Paskah (Malang: Dioma, 2014), 18-20; William P. Saunders, “Straight Answers: The Ashen Cross,” dalam Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

[7] Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana, Kanisius, Yogyakarta: 2004, hlm. 197

This entry was posted in AGENDA, KATEKESE, Seputar Gereja. Bookmark the permalink.