CERDAS MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL 

Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


 

Salah satu keterbatasan komunikasi di dunia maya adalah absennya ekspresi. Meski pada tahun 1999 Shigetaka Kurita menciptakan emoji, ekspresi seseorang tidak begitu saja terwakili dengan emoji-emoji tersebut. Hal inilah yang membuat komunikasi di dunia maya menjadi riskan akan salah tafsir. Padahal, salah tafsir, bila tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak buruk. 

 

Tak lama setelah perayaan natal tahun lalu, seorang teman biarawan, Ponche, mengunggah ungkapan ketidaksukaannya akan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menangkap dan mendeportasi beberapa siswa dan mahasiswa yang diketahui sebagai penduduk illegal di Amerika Serikat. Teman Ponche, satu per satu, menyetujui unggahannya itu. Namun, ada satu teman se-ordo-nya yang berbeda pendapat. Ia menuduh Ponche anti-Trump dan pro-imigrasi. Ia bahkan menuduh Paus Fransiskus sebagai antek komunis dan berseberangan dengan Paus Yohanes Paulus II yang melawan komunisme. Disertai beberapa emoji senyuman, Ponche menanggapi bahwa jika temannya berpikiran seperti itu, ia tidak lagi menghidupi spiritualitas ordonya.

 

Perang komentar pun terus berlanjut. Ponche terus-menerus menyertakan emoji senyum dalam setiap tanggapannya, meski tidak berhasil meredakan perseteruan itu. Akhirnya, teman Ponche itu berterus-terang, ia sebenarnya sudah tidak betah lagi di dalam ordo yang semakin pro Paus Fransiskus. Untuk itu, ia sedang mencari cara keluar dari ordo. Tidak cukup itu, ia juga menulis,”Ponche, kamu adalah teman baikku. Sayang sekali, kali ini kita harus berpisah karena cara pandang kita berbeda!”. Andai perbincangan itu tidak di media social, mungkin runtuhnya persahabatan ini dapat dihindari.

 

Memang aneka unggahan di media social bisa dengan mudah “mengacaukan” relasi dan “meracuni” hidup seseorang, karena membuat mereka iri dan tidak puas akan hidupnya sendiri. Dalam sebuah riset di Jerman yang diterbitkan di Jurnal Computers in Human Behavior tahun 2018, sebanyak 62% responden menyatakan bahwa postingan di media social, terutama yang berupa foto-foto melancong dan barang-barang kekinian, meningkatkan rasa iri hati. Riset serupa di Penn State University, Amerika Serikat tahun 2016, dengan melibatkan 1.500 orang memberikan hasil yang sama. Melihat swafoto orang lain bisa menurunkan kepercayaan diri, karena memicu mereka membandingkan diri sendiri dengan foto orang yang tampak paling bahagia.

 

Berbeda dengan arus unggahan semacam itu, Sarah Jessica Parker (JSP), aktris ternama Amerika, misalnya, justru lebih sering mengunggah foto buku-buku yang dibacanya dan pesan-pesan kemanusiaan di akun Instagramnya. Hampir tidak ada satu pun swafoto di akunnya. SJP hanyalah salah satu dari banyak orang lain yang menggunakan media social sebagai sarana menyebarkan nilai-nilai positif dan membangun persaudaraan.

 

Media social hanyalah sarana, kita, para penggunannyalah penentunya. Maka marilah menjadi pengguna yang cerdas agar dampak positifnya lebih terasa. 

 

C. Bayu Risanto, SJ 

This entry was posted in Seputar Gereja. Bookmark the permalink.